Penerjemah tersumpah yang mendapat rujukan dari luar atau rujukan eksternal berupa keyakinan dan akidah akan menanggapi masukan informasi sebagian besar berdasarkan pada nilai moral, ekspektasi ideal dan perilaku. Nilai dan norma masyarakat sangat berpengaruh dalam menuntun dan mengendalikan perilaku mereka. “Tindakan apa yang benar dilakukan?” menyiratkan pertanyaan seperti “Apa yang diharapkan orang tua untuk saya lakukan?” atau “Apa yang akan dilakukan orang-orang yang berpikiran lurus dan beramal salih bila berada dalam situasi saya?”
Profesi penerjemah ini hampir pasti mayoritas luas terdiri dari penerjemah dan juru bahasa yang mendapat rujukan eksternal. Mereka mendasarkan seluruh aktivitas profesional dan citra-diri mereka pada subordinasi berbagai norma sosial yang mengontrol penerjemahan: pengarang naskah sumber, pemesan jasa terjemahan (yang mengawali proses penerjemahan dan membayar jasa penerjemah), dan pembaca sasaran.
Secara logis pemikiran mereka seperti ini: Pengarang naskah sumber punya sesuatu yang penting berupa pesan, ajakan atau pemikiran untuk disampaikan. Pentingnya pesan itu disahkan oleh sistem nilai sosial yang memutuskan bahwa pesan itu sebaiknya tersedia pula bagi pembaca dalam bahasa lain. Pesan itu cukup penting sehingga perpindahannya dalam melintasi hambatan bahasa dan budaya haruslah tanpa ada perubahan yang berarti. Instrumen yang dipilih untuk proses itu adalah penerjemah.
Untuk memudahkan pemindahan tanpa-perubahan ini, pemikiran penerjemah harus sepenuhnya tunduk pada teks sumber dan maknanya, juga terhadap kewenangan sosial yang sudah memilihnya untuk menerjemahkan dan akan membayar jasanya itu. Sikap tunduk ini berarti mengosongkan sepenuhnya (setidaknya selama sedang menerjemahkan) opini pribadi, bias, kecenderungan, dan kebiasaan si penerjemah, khususnya segala godaan untuk “menafsirkan” teks berdasarkan tendensi idiosinkratis (idiosyncratic tendencies).
Di luar pekerjaannya, penerjemah bisa menjadi seorang individu yang berfungsi secara utuh, tetapi sebagai seorang penerjemah, ia harus tunduk kepada pihak yang berwenang sekaligus kepada norma sebagai sistem nilai. Bagi penerjemah dan juru bahasa yang mendapat rujukan eksternal, hal ini merupakan persoalan legal dan etika: penerjemah yang melanggar etika ini bukan hanya seorang profesional yang buruk, ia juga jenis manusia yang tidak baik.
Saat ia menerjemahkan naskah sumber menyangkut soal keyakinan berakidah yang berbeda, penafsiran dan pemikirannya akan melawan berdasarkan norma yang selama hidupnya ia yakini, tetapi sebagai profesional ia harus menerjemahkan naskah tersebut sebagaiman aslinya. Sebagai penerjemah tersumpah ia harus tunduk kepada naskah siapa pun pengarangnya karena ia sudah disumpah sedang sebagai individu yang religus ia harus tunduk kepada sistem norma yang diyakini.
Inilah yang kemudian dianggap tragedi religi bagi penerjemah tersumpah, karena berada pada situasi yang dilematis. Tiap kali penerjemah mengunggulkan salah satu norma berati ia telah melanggar norma yang lain.
Penerjemah yang mendapat rujukan internal mengembangkan kode etik yang lebih personal atau pemahaman tentang integritas personal, dan merespons masukan (input) berdasarkan kriteria internal mereka yang mungkin menyimpang atau tidak menyimpang dari nilai dan norma sosial, tergantung pada situasinya.
Cukup mudah untuk mengidentifikasi berbagai penerjemah independen sebagai penerjemah yang mendapat rujukan internal. Kesulitan pada pengidentifikasian ini ialah banyak di antara mereka hanya kelihatannya saja merupakan penerjemah rujukan internal (bermoral) karena sumber rujukan eksternal-nya tidak termasuk rujukan yang bisa diterima masyarakat.
Ahli teori penerjemahan ada yang mengatakan misalnya, bahwa penerjemah seharusnya menolak rujukan eksternal yang ditentukan masyarakat kapitalis. Rujukan yang mewajibkan penerjemah menciptakan teks yang fasih untuk pembaca sasaran dan menggantinya dengan rujukan eksternal yang lebih tradisional untuk tekstur teks berbahasa asing. Dengan demikian, penerjemah “asing” yang meninggalkan jejak ke asingan (foreignness) teks sumber pada terjemahannya akan tampak sebagai penerjemah “rujukan internal” menurut standar masyarakat, tetapi sesungguhnya respons nya tidak merujuk pada suatu pandangan idiosinkratis, melainkan pada kewenangan eksternal alternatif, teks sumber atau kebudayaan sumber, atau gagasan etika untuk kebudayaan sasaran yang diubah bentuknya secara positif lewat kontak dengan keasingan itu.
Kita bisa membayangkan jika penerjemah bekerja dalam satu kantor jasap penerjemah, yang tergabung didalamnya beberapa penerjemah dengan berbeda latar belakang dan berbeda keyakinan, tentu pengelola tidak boleh sembarangan mempercayakan dokumen kepada penerjemah yang berlainan keyakinan dan akidahnya. Pada faktanya banyak sekali terjadi sebaliknya dan tragedi religi penerjemah bisa saja terjadi setiap saat.